Waspadai ketuban pecah dini! Mengancam nyawa ibu dan bayi

Waspadai ketuban pecah dini! Mengancam nyawa ibu dan bayi
Momen kehamilan selalu menjadi periode yang dinanti-nanti oleh pasangan suami istri. Sebuah hadiah yang luar biasa, kelahiran seorang bayi memberikan kebahagiaan yang tak terlukiskan.
Tetapi jangan biarkan kilauan di mata kita menyilaukan kenyataan bahwa perjuangan dan tantangan selama kehamilan dapat menguras tenaga, waktu, dan bahkan emosi.
Proses ini memang unik dan indah, tetapi juga tak dapat dipungkiri bahwa setiap pasangan menghadapi perjuangan yang berbeda. Ada yang terlahir dengan kelancaran proses, sementara yang lain perlu melalui berbagai upaya, termasuk metode bayi tabung atau IVF.
Namun, tantangan tidak berakhir ketika garis merah muncul di tes kehamilan. Faktanya, selama masa kehamilan, ada banyak masalah medis yang perlu dipahami dan diatasi agar ibu dan bayi tetap sehat dan selamat. Salah satunya adalah Ketuban Pecah Dini, suatu kondisi yang dapat mengancam kehidupan ibu dan bayi jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan untuk memahami risiko dan tindakan pencegahan terkait masalah kehamilan, termasuk Ketuban Pecah Dini, agar dapat merencanakan kehamilan dan menjalani prosesnya dengan lebih baik dan aman.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam tentang Ketuban Pecah Dini dan penyebab terjadinya dan risiko ketuban pecah dini, memberikan saran praktis bagi para pasangan agar dapat mengurangi risiko dan menjalani masa kehamilan dengan lebih sehat dan nyaman.
Ketuban Pecah Dini: Definisi dan Terminologi

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Premature Rupture of Membranes (PROM) adalah pecahnya (terbukanya) selaput (kantung ketuban) sebelum persalinan dimulai. Jika PROM terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, maka disebut Preterm Premature Rupture Of Membranes (PPROM).[1]
Penyebab Ketuban Pecah Dini
Walaupun beberapa kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) tidak memiliki penyebab pasti, ada beberapa faktor resiko yang sering dikaitkan dengan kejadian tersebut.[2,3] Faktor-faktor tersebut antara lain:
- Infeksi rahim, infeksi leher rahim, atau infeksi vagina.
- Terlalu banyak peregangan pada kantung ketuban yang dapat terjadi karena terlalu banyak cairan atau lebih dari satu bayi menekan selaput.
- Kebiasaan merokok.
- Pernah menjalani operasi atau biopsi serviks.
- Pernah mengalami Premature Rupture of Membranes (PROM) atau Preterm Premature Rupture of Membranes (PPROM) pada kehamilan sebelumnya.
Risiko Ketuban Pecah Dini
Prematuritas dapat berakibat pada sejumlah komplikasi serius, seperti risiko peningkatan untuk mengalami respiratory distress syndrome, bronchopulmonary dysplasia, necrotizing enterocolitis, dan sepsis, serta masalah neurologis seperti periventricular leukomalacia, kejang, perdarahan intraventrikular, cerebral palsy, dan ensefalopati iskemik hipoksik. Masalah makan/menyusui, pendengaran, dan penglihatan juga sering terjadi.
Persalinan prematur terkait dengan hasil perkembangan neurologis perinatal yang buruk, tingginya angka admisi rumah sakit, kesulitan perilaku-sosial-emosional, dan kesulitan belajar. Di samping itu, masalah prematuritas juga dikaitkan dengan risiko peningkatan biaya jangka panjang sistem kesehatan, serta masalah psikologis dan keuangan keluarga yang memerlukan perhatian serius.[4]
Prevalensi Ketuban Pecah Dini di Indonesia
Pecahnya ketuban sebelum waktunya meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. Sekitar sepertiga dari ibu yang mengalami ketuban pecah dini preterm akan terinfeksi, yang dapat berdampak serius pada kesehatan janin.[5]
KPD menjadi masalah yang memerlukan perhatian besar karena prevalensinya yang cukup tinggi dan cenderung meningkat. KPD aterm terjadi pada 6,46-15,6% kehamilan aterm, sedangkan KPD preterm (PPROM) terjadi pada sekitar 2-3% dari seluruh kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar.[6]
Di RSUP Dr. Hasan Sadikin sendiri, tercatat ketuban pecah dini menempati urutan kedua dari 10 besar diagnosis komplikasi pada kehamilan pada rentang tahun 2015-2016, dengan jumlah kasus meningkat dari 277 menjadi 745 kasus.[6]
Diagnosis Ketuban Pecah Dini

Ketika masalah kebidanan berkaitan dengan diagnosa Ketuban Pecah Dini (KPD), tentunya sensitivitas diagnosis menjadi hal yang sangat krusial dan menentukan. Namun sayangnya, sampai saat ini masih banyak kelemahan dan keterbatasan dalam pemeriksaan KPD dengan menggunakan nitrazine test yang menjadi andalan selama ini.
Bahkan, hasil evaluasi nitrazine test menunjukkan tingkat hasil positif yang salah sebesar 17,4% dan tingkat hasil negatif yang salah di antara 7 hingga 12,9%, yang tentu saja sangat mengkhawatirkan. Tes ini tidak bisa lagi dijadikan sebagai satu-satunya landasan untuk menegakkan diagnosis KPD pada ibu hamil.[7]
Akibat dari keterbatasan akurasi nitrazine test yang tidak memadai tersebut, wanita hamil justru mengalami risiko untuk mendapatkan intervensi yang tidak perlu, seperti rawat inap, terapi antibiotik, aplikasi kortikosteroid, dan bahkan induksi persalinan yang berbahaya.
Tentunya, hal ini sangat memprihatinkan. Apalagi dengan sensitivitas yang buruk, diagnosa KPD dapat terlambat atau bahkan tertunda, meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi bagi ibu dan janin.
Tes tradisional non-invasif yang digunakan seperti tes ferning dan nitrazin justru memiliki tingkat hasil positif dan negatif yang salah yang sangat tinggi, terutama pada wanita dengan infeksi vagina atau cairan tubuh lainnya.
Ketika kita berbicara tentang diagnosa ketuban pecah, masih belum ada metode yang bisa diandalkan secara keseluruhan.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tes berbasis penanda biokimia yang memeriksa keberadaan IGFBP-1 di cairan vagina bisa menjadi pilihan alternatif yang lebih sensitif dan spesifik dalam mendeteksi kebocoran mikro dan risiko ketuban pecah. IGFBP-1, atau Insulin-like Growth Factor Binding Protein-1, adalah sebuah penanda biologis yang berasal dari jaringan desidua endometrium.
Ketika terjadi kebocoran membran ketuban yang berukuran kecil atau mikroskopis, IGFBP-1 akan meningkat di sekresi serviks. Dua bentuk IGFBP-1 yang berbeda dapat ditemukan dalam cairan amnion dan sekresi serviks, dan kerusakan jaringan di segmen bawah uterus bisa menyebabkan pelepasan IGFBP-1 ke dalam sekresi serviks.
Kehadiran protein ini pada sekresi serviks bisa menjadi indikator awal dari persalinan preterm dan persalinan cukup bulan.
Menjawab permasalahan dan tantangan agar para ibu terbebas dari kekhawatiran risiko ketuban pecah dini, kini, hadir solusi baru yang revolusioner untuk mendeteksi ketuban pecah dini secara cepat dan akurat, Actim® PROM.

Tes Actim® PROM menggunakan teknologi antibodi monoklonal yang sangat spesifik, dengan sensitivitas, spesifisitas serta akurasi yang menyentuh angka 97%, untuk mengidentifikasi insulin-like growth factor binding protein-1 (IGFBP-1), penanda biologis yang meningkat pada sekresi serviks ketika terjadi kebocoran membran mikro atau ketuban pecah dini.
Dengan tingkat sensitivitas yang tinggi, Tes Actim® PROM bahkan dapat mendeteksi pecahan kecil pada membran janin yang biasanya tidak terdeteksi oleh tes tradisional.
Dapatkan informasi selengkapnya mengenai Tes Actim® PROM dengan mengunjungi halaman berikut ini:
[maxbutton id=”1″ url=”https://mjg.theideagrovestudio.com/products/maternal-health/actim-prom/” ]
Referensi Artikel:
1. Children’s Hospital Of Philadelphia. (2022). Premature Rupture of Membranes (PROM)/Preterm Premature Rupture of Membranes (PPROM). https://www.chop.edu/conditions-diseases/premature-rupture-membranes-prompreterm-premature-rupture-membranes-pprom [diakses pada 08 MAY 2023].
2. Mercer BM, Chien EKS. Premature rupture of the membranes. In: Resnick R, Lockwood CJ, Moore TR, Greene MF, Copel JA, Silver RM, eds. Creasy and Resnik’s Maternal-Fetal Medicine: Principles and Practice. 8th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2019:chap 42.
3. Mercer BM, Chien EKS. Premature rupture of the membranes. In: Landon MB, Galan HL, Jauniaux ERM, et al, eds. Gabbe’s Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 8th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2021:chap 37.
4. Vogel, I., dkk. (2004). Insulin-like growth factor binding protein 1 (IGFBP-1) in vaginal fluid in pregnancy. In vivo (Athens, Greece), 18(1), 37–41.
5. American College of Obstetricians and Gynecologists. (2016). Practice Bulletin. Premature Rupture of Membranes. Obstet Gynecol.128:e165.
6. Sasongko, R.A., dkk. (2018). Hubungan antara Faktor Risiko Demografi dan Klinis terhadap Kejadian Persalinan Preterm Dini dan Lanjut. Obgynia, 1(1), 6-16. https://www.obgynia.com/obgyn/index.php/obgynia/article/view/64 [diakses pada 08 MAY 2023].
7. Di Renzo, G. C., dkk. (2011). Guidelines for the management of spontaneous preterm labor: identification of spontaneous preterm labor, diagnosis of preterm premature rupture of membranes, and preventive tools for preterm birth. The journal of maternal-fetal & neonatal medicine: the official journal of the European Association of Perinatal Medicine, the Federation of Asia and Oceania Perinatal Societies, the International Society of Perinatal Obstetricians, 24(5), 659–667. https://doi.org/10.3109/14767058.2011.553694 [diakses pada 08 MAY 2023].
Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!
Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.






