Eradikasi Hepatitis C: Pentingnya Peran Pemantauan RNA HCV

Hepatitis C merupakan infeksi serius pada hati yang dapat memiliki konsekuensi jangka panjang yang signifikan bagi kesehatan individu. Virus ini berbeda dari hepatitis B, tetapi juga bisa menyebabkan kerusakan hati yang parah dan dalam kasus tertentu, dapat berkembang menjadi kanker hati. Pada artikel ini, kita akan membahas mengenai hepatitis C, termasuk faktor penyebab, tanda-tanda, penyebaran, langkah-langkah pencegahan, dan metode pengobatannya, berdasarkan informasi yang telah tersedia.
Seputar Hepatitis: Prevalensi & Langkah Eradikasi yang Dilakukan
Hepatitis adalah peradangan pada hati yang dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk infeksi virus. Virus Hepatitis C (HCV) menjadi salah satu penyebab utama dalam situasi krisis kesehatan global ini. Tingkat infeksi kronis Hepatitis C menyebabkan tantangan besar dalam kesehatan masyarakat karena dapat mengakibatkan komplikasi serius seperti sirosis, kanker hati, dan bahkan kematian.[1]
Di Asia Tenggara, infeksi hepatitis menyebabkan 81% dari total kematian akibat hepatitis, dengan kanker hati menjadi penyebab utama. Diperkirakan ada sekitar 10 juta orang dengan hepatitis C kronis di Asia Tenggara. Setiap tahun, virus hepatitis menyebabkan sekitar 410.000 kematian di wilayah ini, dengan 78% terkait dengan kanker hati dan sirosis akibat hepatitis.[1]
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, di mana virus hepatitis menjadi penyebab utama hepatitis kronik, sirosis, kanker hati, dan kematian akibat penyakit hati. Menurut Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada tahun 2019, kematian terkait sirosis berada di antara empat penyebab kematian teratas di Indonesia.[2]

Penderita hepatitis dapat mengidap virus hepatitis C selama bertahun-tahun tanpa menunjukkan gejala apapun. Proses ini seringkali disebut sebagai infeksi kronis, di mana virus dapat terus merusak organ hati secara perlahan tanpa memberikan tanda-tanda yang jelas. Seseorang mungkin hanya akan menyadari bahwa mereka terinfeksi virus hepatitis C ketika mereka secara aktif memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.[3]
Jika hasil pemeriksaan anti-HCV (antibodi terhadap hepatitis C virus) positif atau reaktif, hal tersebut dapat mengindikasikan infeksi virus hepatitis C. Untuk konfirmasi dan untuk menilai tingkat infeksi, pemeriksaan Hepatitis C Virus Ribo Nucleic Acid (HCV-RNA) dapat diperlukan.[3] Prevalensi anti-HCV di Indonesia cukup menjadi sorotan, dengan angka sebesar 1,0% pada tahun 2013.[4]
Indonesia telah membuat komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030. Secara khusus, SDG 3.3 bertujuan untuk memberantas hepatitis dan penyakit menular lainnya pada tahun 2030.[5]
Manajemen hepatitis berfokus pada penghapusan hepatitis B dan hepatitis C serta mencegah penularan hepatitis dari ibu ke anak. Untuk mencapai target penghapusan hepatitis, upaya pencegahan dan pengendalian sedang dipercepat. Ini termasuk memperluas cakupan pengobatan hepatitis C.[5]
Pengobatan yang digunakan dalam program pencegahan dan pengendalian hepatitis C adalah Direct-Acting Antiviral (DAA). Pemantauan pengobatan RNA HCV membantu dokter mengevaluasi efektivitas terapi yang diberikan. Melalui pemeriksaan rutin, dapat diketahui apakah jumlah virus atau viral load telah menurun atau bahkan tidak terdeteksi sama sekali. Hal ini membantu dalam menilai apakah pengobatan yang diberikan berhasil mengendalikan perkembangan virus.[6, 7]
Pemantauan yang baik memungkinkan identifikasi dini potensi perkembangan komplikasi penyakit Hepatitis C, sehingga tindakan pencegahan atau pengobatan lanjutan dapat dilakukan dengan cepat. Pasien yang mendapat pengobatan yang efektif memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dalam menekan penyebaran virus kepada orang lain. Dengan memantau dan mengelola infeksi secara efektif, risiko penularan kepada orang lain dapat diminimalkan.[6, 7]
Baca Juga: IMLTD: Tak Kasat Mata Namun Mematikan
Hepatitis C Virus (HCV)
Hepatitis C Virus (HCV) adalah virus RNA yang ditularkan melalui darah. Saat ini, telah ada 6 genotipe dan 50 subtipe yang diidentifikasi. Di Indonesia, sekitar 73% infeksi hepatitis C adalah genotipe 1, sedangkan infeksi sisanya adalah genotipe 2 (16%) dan genotipe 3 (11%).[7]
Dengan ketersediaan rejimen terapi pan-genotipik (efektif untuk semua genotipe), tidak perlu dilakukan pemeriksaan genotipe untuk memulai pengobatan. Jika tidak diobati, infeksi hepatitis C dapat berkembang menjadi hepatitis C kronis, sirosis, dan hepatoma (kanker hati).[7]
Infeksi virus hepatitis C bisa menjadi akut atau kronis. Masa inkubasi untuk seseorang yang terinfeksi virus adalah sekitar 45 hari. Sekitar 15-45% orang yang terinfeksi hepatitis C dapat pulih secara spontan dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Namun, 55-85% orang yang terinfeksi virus akan mengembangkan hepatitis C kronis, yang berarti bahwa virus tetap berada di dalam tubuh dan terus menyebabkan kerusakan pada hati.[8]
Penularan hepatitis C terutama terjadi melalui kontak darah, perangkat medis non-steril, penggunaan obat suntik, dan transfusi darah yang terkontaminasi virus.[8] Pada tahap awal, infeksi hepatitis C seringkali asimtomatik. Namun, mereka yang memiliki gejala mungkin mengalami mual, nyeri sendi, lesu, penyakit kuning ringan (kulit menguning), dan urin berwarna gelap.[9]
Jika infeksi hepatitis C tidak sembuh secara spontan, ia berkembang menjadi hepatitis C kronis, di mana virus terus berada di dalam tubuh dan menyebabkan kerusakan hati yang berkelanjutan. Pada tahap ini, virus dapat dideteksi, dan pengobatan dapat dimulai. Penyembuhan spontan tidak mungkin dilakukan selama fase ini, dan jika tidak diobati, kerusakan hati akan bertahan.[9]
Dalam 20 tahun, sekitar 15-30% individu dengan hepatitis C kronis akan mengembangkan sirosis. Sirosis dapat menyebabkan komplikasi seperti dekompensasi, perdarahan varises, asites, atau ensefalopati. Setiap tahunnya, 1-3% individu dengan sirosis akan mengembangkan karsinoma hepatoseluler. Pasien dengan sirosis masih dapat diobati, tetapi kerusakan hati yang ada tidak dapat dibalik. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendeteksi infeksi hepatitis C sedini mungkin.[8]
Selain kerusakan hati, infeksi hepatitis C juga terkait dengan masalah kesehatan lainnya seperti depresi (24%), diabetes melitus (15%), dan gagal ginjal kronis (10%). Setiap tahun, 1-5% pasien dengan sirosis hati akan mengembangkan kanker hati. Pada karsinoma hati, sel-sel hati sudah menimbulkan keganasan dan tidak dapat berfungsi dengan baik. Rawat inap dan terapi, baik paliatif atau transplantasi hati, biasanya diperlukan untuk pasien dengan kanker hati.[10]
Angka kematian akibat komplikasi sirosis yang terkait dengan infeksi hepatitis C kronis adalah sekitar 4% per tahun. Individu dengan hepatitis C dan koinfeksi HIV mungkin mengalami gejala hepatitis C yang lebih parah. Sayangnya, saat ini tidak ada vaksin untuk hepatitis C, sehingga upaya pencegahan fokus pada promosi kesehatan, pencegahan perilaku risiko, dan pengobatan.[10]
Pengobatan untuk hepatitis C bertujuan untuk menyembuhkan pasien yang terinfeksi, sehingga mencegah penularan lebih lanjut. Obat yang digunakan dalam program pencegahan dan pengendalian hepatitis C adalah DAA, yang memiliki tingkat penyembuhan lebih dari 95%.[10]
Baca Juga: Hepatitis B: Pentingnya Pemantauan DNA HBV & Studi Kasusnya
Pentingnya Peran Pemantauan RNA HCV Dalam Masa Pengobatan
Dalam penanganan kasus hepatitis C, pemeriksaan viral load RNA HCV berperan untuk menentukan kemungkinan tercapainya Sustained Virologic Response (SVR). SVR mengacu pada keadaan di mana virus Hepatitis C tidak dapat terdeteksi dalam darah pasien setelah menyelesaikan terapi antiviral.[10]

Dalam pengobatan Hepatitis C, tujuan utama adalah mencapai SVR karena itu dianggap sebagai tanda kesembuhan atau kontrol infeksi. SVR biasanya diukur 12 atau 24 minggu setelah selesai terapi, dan tingkat SVR yang tinggi menunjukkan keberhasilan pengobatan.[10]
Dengan melakukan pemeriksaan rutin, penyedia layanan kesehatan dapat menentukan apakah jumlah virus atau viral load telah menurun secara signifikan atau bahkan tidak terdeteksi. Proses pemantauan komprehensif ini memainkan peran penting dalam mengevaluasi apakah pengobatan yang diberikan berhasil mengontrol perkembangan virus di dalam tubuh pasien.[6, 7]
Selain itu, mengidentifikasi sedini mungkin komplikasi potensial yang dapat terjadi memungkinkan profesional kesehatan dengan cepat menerapkan tindakan pencegahan atau perawatan lanjutan. Perlu dicatat bahwa beberapa pasien mungkin tidak merespon dengan baik terhadap rejimen pengobatan awal, dan di sinilah pemantauan rutin menjadi lebih vital.[6, 7]
Melalui evaluasi berkelanjutan, dokter dapat mengukur respon pasien terhadap pengobatan dan membuat penyesuaian yang diperlukan untuk rejimen. Penyesuaian ini mungkin melibatkan perubahan dosis, memasukkan obat tambahan, atau bahkan mengganti seluruh rejimen pengobatan, tergantung pada kondisi spesifik pasien.[6, 7]
Penting untuk disoroti bahwa pasien yang menerima pengobatan yang efektif mengalami tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam menekan penularan virus ke orang lain. Dengan rajin memantau dan mengelola infeksi secara efektif, profesional kesehatan secara signifikan mengurangi risiko penularan virus ke individu yang dekat dengan pasien.[6, 7]
Pedoman dan Konsensus Pengobatan Hepatitis
Pedoman atau panduan praktik klinis saat ini diterbitkan oleh American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD), European Association for the Study of the Liver (EASL), Asian-Pacific Association for the Study of the Liver (APASL), Korean Association for the Study of the Liver (KASL), dan Indonesia oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, masing – masing menawarkan beberapa rekomendasi dalam memulai terapi dan target kesembuhan pasien.[6, 7, 11]
Di Indonesia, tujuan dari terapi untuk infeksi hepatitis C adalah untuk menghilangkan virus hepatitis C dan mencegah komplikasi penyakit hati seperti fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular, dan kematian. Awalnya, terapi standar untuk hepatitis C kronik melibatkan kombinasi Pegylated Interferon-α (Peg-IFN) dan ribavirin (RBV). Namun, hasilnya kurang memuaskan pada pasien dengan genotipe 1.[7]
Seiring berkembangnya DAA, muncul generasi baru DAA seperti simeprevir, sofosbuvir, ledipasvir, daclatasvir, elbasvir, dan grazoprevir. Obat-obat ini memiliki tingkat SVR12 yang lebih tinggi daripada terapi berbasis interferon, durasi pengobatan yang lebih singkat, bisa diberikan secara oral, dan memiliki efek samping yang lebih sedikit.[7]
Pemberian terapi antivirus disarankan untuk semua pasien yang belum pernah menerima terapi sebelumnya (naive) serta pasien yang gagal dalam terapi sebelumnya, baik dengan penyakit hati yang masih berfungsi normal (kompensata) maupun yang sudah mengalami dekompensasi.[7]
Pada pasien dengan sirosis hati yang masih berfungsi normal, tujuan terapi adalah untuk mengurangi risiko komplikasi dekompensasi sirosis dan risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler. Pasien dengan hepatitis C akut juga dapat dipertimbangkan untuk menerima terapi antivirus.[7]
Prioritas terapi perlu diberikan kepada pasien dengan tingkat fibrosis yang berat (METAVIR score F3-F4), yang memiliki koinfeksi HIV atau hepatitis B, yang merupakan kandidat untuk transplantasi hati, atau yang mengalami rekurensi hepatitis C setelah transplantasi. Terapi hepatitis C juga diutamakan pada pasien dengan sindrom metabolik, gejala ekstrahepatik, bukti kerusakan organ lain, dan morbiditas psikososial yang signifikan.[7]
Selain itu, terlepas dari tingkat fibrosis, pasien yang memiliki risiko tinggi menularkan virus juga menjadi sasaran terapi, seperti pengguna narkoba suntik, homoseksual dengan HIV, narapidana, pekerja seks komersial, wanita yang berpotensi hamil, dan pekerja di bidang layanan kesehatan.[7]
Pada pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR score F2), pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan dengan memperhitungkan manfaat dan risiko pengobatan. Terapi bisa ditunda jika tidak terdapat fibrosis atau hanya terdapat fibrosis ringan (F0-F1). Namun, terapi tidak disarankan pada pasien dengan komorbiditas berat selain penyakit hati yang dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup.[7]
Baca Juga: Hepatitis B: Kenali Penyakitnya & Cegah Penularannya
Tantangan Pemantauan RNA HCV
Salah satu tantangan utama dalam pemantauan RNA HCV adalah keterbatasan akses terhadap pengujian. Di beberapa wilayah, terutama di negara berkembang, infrastruktur kesehatan yang kurang mendukung dan keterbatasan sumber daya dapat menghambat pemberian layanan diagnostik yang tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam deteksi dan pemantauan infeksi, memperburuk kondisi pasien.

Pemantauan yang efektif memerlukan tingkat kepatuhan pasien yang tinggi terhadap rencana pemantauan yang telah ditentukan. Namun, faktor-faktor seperti kesadaran diri, pemahaman tentang penyakit, dan keterbatasan finansial dapat mempengaruhi kepatuhan pasien. Edukasi yang tepat dan dukungan psikososial dapat membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan hasil pemantauan yang lebih baik.
Mutasi virus hepatitis dapat memengaruhi akurasi tes. Virus yang berubah secara genetik dapat menghasilkan varian baru yang mungkin tidak terdeteksi oleh metode pemantauan konvensional. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode pemantauan yang dapat mengakomodasi variasi genetik ini untuk memastikan hasil yang akurat.
Penelitian terus dilakukan untuk mengembangkan teknologi baru dan meningkatkan keberlanjutan pemantauan. Metode seperti penggunaan teknologi next-generation sequencing dan CRISPR, dapat membantu mendeteksi variasi genetik virus dengan lebih baik.[12]
Baca Juga: Xpert HBV VL: Inovasi Pemantauan DNA HBV yang Lebih Efektif
Xpert HCV VL: Inovasi Pemeriksaan RNA HCV & Studi Kasusnya
Sebagai respon terhadap tantangan pemantauan RNA HCV, terdapat sejumlah inovasi teknologi yang berfokus pada peningkatan akurasi, aksesibilitas, dan efisiensi.[13]
Tes Xpert HCV VL dari Cepheid telah dievaluasi serta dibandingkan dengan uji konvensional. Tes ini telah menunjukkan hasil yang akurat, bahkan di antara genotipe HCV yang berbeda.[14]
Sebuah studi yang dilakukan di Indonesia telah memvalidasi manfaat tes Xpert HCV VL untuk layanan terdesentralisasi di daerah terbatas sumber daya sehingga dapat meningkatkan akses ke perawatan dan pengobatan untuk HCV.[15] Berbagai penelitian yang melibatkan populasi pengguna narkoba suntik telah menunjukkan kepraktisan tes Xpert HCV VL Fingerstick, yang memberikan nilai sensitivitas lebih dari 98%.[16, 17]
Selain itu, studi berbasis komunitas di Mesir telah menunjukkan bahwa satu kunjungan dapat mengarah pada diagnosis, penilaian, dan inisiasi pengobatan untuk Hepatitis B Virus (HBV) dan HCV jika menggabungkan skrining rapid antigen, viral load Xpert, dan elastografi hati FibroScan.[18, 19]
Untuk mengetahui informasi selengkapnya mengenai Xpert HCV Viral Loud (VL) dari Cepheid, Anda dapat mengetahuinya dengan mengunjungi halaman berikut :
[maxbutton id=”1″ url=”https://mjg.theideagrovestudio.com/products/tcm/xpert-hcv-viral-load/” ]
Referensi Artikel:
- World Health Organization (WHO). 2023. Hepatitis in the South-East Asia Region. Retrieved from https://www.who.int/southeastasia/health-topics/hepatitis
- Institute for Health Metrics and Evaluation. 2019. Indonesia. Seattle, WA: IHME, University of Washington. Retrieved from https://www.healthdata.org/indonesia
- World Health Organization. 2020. Training Modules on Hepatitis B and C Screening, Diagnosis, and Treatment. Retrieved from https://www.who.int/publications/i/item/9789290227472
- Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan. 2014. Laporan Uji Serologis Penyakit yang dapat Dicegah dengan Imunisasi dan Penyakit Infeksi pada Spesimen Biomedis Riskesdas 2013.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2023. Petunjuk Teknis Manajemen Program Hepatitis B dan C. https://perpustakaan.kemkes.go.id/books/petunjuk-teknis-manajemen-program-hepatitis-b-dan-c/ (diakses pada 10 Mei 2024).
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/322/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis B.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/681/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis C.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 Tentang Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak.
- World Health Organization. 2023. Hepatitis C. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-c#:~:text=Hepatitis%20C%20is%20an%20inflammation,including%20liver%20cirrhosis%20and%20cancer.
- World Health Organization. (Year). Guidelines for the care and treatment of persons diagnosed with chronic hepatitis C virus infection. Retrieved from https://www.who.int/publications/i/item/9789241550345
- Lynch SM, Wu GY. Hepatitis C Virus: A Review of Treatment Guidelines, Cost-effectiveness, and Access to Therapy. J Clin Transl Hepatol. 2016 Dec 28;4(4):310-319. doi: 10.14218/JCTH.2016.00027. Epub 2016 Nov 3. PMID: 28097100; PMCID: PMC5225151.
- Said ZNA, El-Sayed MH. Challenge of managing hepatitis B virus and hepatitis C virus infections in resource-limited settings. World J Hepatol. 2022 Jul 27;14(7):1333-1343. doi: 10.4254/wjh.v14.i7.1333. PMID: 36158908; PMCID: PMC9376770.
- Shenge JA and Osiowy C (2021) Rapid Diagnostics for Hepatitis B and C Viruses in Low- and Middle-Income Countries. Front. Virol. 1:742722. doi: 10.3389/fviro.2021.742722
- Jackson, K., Holgate, T., Tekoaua, R., Nicholson, S., Littlejohn, M., Locarnini, S. 2019. Evaluation of dried blood spots for hepatitis B and D serology and nucleic acid testing. Journal of Medical Virology, 92(7), 833–840. https://doi.org/10.1002/jmv.25485.
- Thedja, M. D., Wibowo, D. P., El-Khobar, K. E., Ie, S. I., Setiawan, L., Murti, I. S. 2021. Improving linkage to care of hepatitis C: Clinical validation of GeneXpert® HCV viral load point-of-care assay in Indonesia. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 105(1), 117–124. https://doi.org/10.4269/ajtmh.20-1588.
- Saludes, V., Antuori, A., Lazarus, J. V., Folch, C., González-Gómez, S., González, N. 2020. Evaluation of the Xpert HCV VL fingerstick point-of-care assay and dried blood spot HCV-RNA testing as simplified diagnostic strategies among people who inject drugs in Catalonia, Spain. International Journal of Drug Policy, 80, 102734. https://doi.org/10.1016/j.drugpo.2020.102734.
- Mohamed, Z., Mbwambo, J., Rwegasha, J., Mgina, N., Doulla, B., Mwakale, P. 2020. In-field evaluation of Xpert® HCV viral load fingerstick assay in people who inject drugs in Tanzania. Liver International, 40(3), 514–521. https://doi.org/10.1111/liv.14315.
- Shiha, G., Soliman, R., Serwah, A., Mikhail, N. N. H., Asselah, T., & Easterbrook, P. 2020. A same day ‘test and treat’ model for chronic HCV and HBV infection: Results from two community-based pilot studies in Egypt. Journal of Viral Hepatitis, 27(6), 593–601. https://doi.org/10.1111/jvh.13268.
- Shiha, G., Soliman, R., Mikhail, N. N. H., & Easterbrook, P. 2020. An educate, test, and treat model towards elimination of hepatitis C infection in Egypt: Feasibility and effectiveness in 73 villages. Journal of Hepatology, 72(4), 658–669. https://doi.org/10.1016/j.jhep.2019.11.004.
Kualitas Terjamin, Layanan Kesehatan Terbaik!
Tingkatkan layanan kesehatan yang Anda berikan dengan menggunakan alat kesehatan yang terjamin kualitasnya dan diakui lembaga internasional.






